Jumat, 28 Desember 2012

Adab Meludah

Kita masih sering melihat air ludah berada di sembarang tempat. Ini menunjukkan bahwa masih banyak yang belum paham tentang adab dalam meludah. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memberikan tuntunan tentang masalah ini dengan tujuan menjaga kebersihan dan kesehatan.
Di antara adab yang perlu diperhatikan dalam masalah ini antara lain:
Pertama, tidak meludah ke depan ketika shalat. Pasalnya, saat shalat seseorang sedang bercakap-cakap dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Allah berada di antara orang yang shalat dan kiblat. (Subulus Salam I/150)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu sedang shalat, maka janganlah meludah ke arah depan, karena Allah berada di hadapanmu ketika kamu sedang shalat.”(Riwayat Muslim).
Kedua, tidak meludah ke kanan ketika shalat. Seseorang dilarang meludah ke kanan saat shalat karena di situ ada malaikat. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, maka janganlah meludah ke arah depannya sebab ia sedang berhadapan dengan Allah selagi ia berada di tempat shalatnya, dan jangan ke sebelah kanannya karena di sana ada malaikat. Tetapi hendaklah ia meludah ke arah kiri atau di bawah kakinya, kemudian dikuburnya.”
Ketiga, tidak meludah di masjid. Pengertian masjid di sini meliputi bangunan dan halamannya. Menurut Imam Qurtubi, yang dimaksud masjid adalah tanah yang diwakafkan sebagai masjid (Tafsir Qurtubi I/494).
Ibnu al-Haj, seorang ulama bermazhab Maliki dalam kitabnya Al-Madkhol Li Ibnu al-Haj menjelaskan bahwa meludah di masjid termasuk shu’ul adab (adab yang buruk) (Al-Madkhol I/264).
Dalam sebuah riwayat disebutkan, suatu ketika Rasulullah melihat ludah pada dinding masjid, maka beliau mengambil batu kerikil dan menggosoknya (Riwayat Bukhari).
Keempat, jika terpaksa meludah di masjid hendaklah menggunakan ujung pakaiannya.
Jika seseorang dalam keadaan terpaksa harus meludah di masjid, ia harus menggunakan ujung pakaiannya. Dari Anas bin Malik, Rasulullah melihat dahak di dinding kiblat lalu menggosoknya dengan tangannya. Dan nampak kebencian dari beliau, atau kebenciannya terlihat karena hal itu. Beliau pun bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, sesungguhnya ia sedang berhadapan dengan Rabbnya, atau sesungguhnya Rabbnya berada antara dia dan arah kiblatnya, maka janganlah ia meludah ke arah kiblat. Tetapi hendaklah ia lakukan ke arah kiri atau di bawah kaki (kirinya).” Kemudian Rasulullah memegang tepi kainnya dan meludah di dalamnya, setelah itu beliau membalik posisi kainnya lalu berkata, atau beliau melakukan seperti ini. (Riwayat Bukhari).
Kelima, jika berkendaraan sebaiknya berhenti saat meludah. Bisa jadi ludah yang dikeluarkannya tertiup angin dan mengenai orang yang di belakangnya. Perbuatan ini dilarang karena termasuk menyakiti orang lain. Rasulullah bersabda, “Janganlah saling menyakiti.” (Riwayat Malik). Namun jika memang harus meludah, hendaklah menghentikan kendaraan dan meludah di tepi jalan.
Demikianlah beberapa adab meludah yang diajarkan Islam. Semoga bermanfaat.

Haid (Menstruasi) dan Nifas (darah Pasca Melahirkan) Dalam Fiqih Islam



Oleh Sheikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy
A. Haid
Haid atau menstruasi adalah darah yang keluar dari rahim ketika seorang perempuan telah mencapai baligh, biasanya terjadi pada waktu-waktu tertentu. Hikmah keluarnya darah haid ini adalah untuk mengendalikan kelahiran anak secara alami.

Batas minimal keluarnya darah haid (menstruasi) adalah sehari semalam, dan batas maksimalnya adalah lima belas hari. Adapun umumnya masa haid (masa menstruasi) adalah enam atau tujuh hari.

Adapun batas minimal sucinya itu tiga belas atau lima belas hari, dan batas maksimal sucinya itu tidak terbatas, umumnya seseorang bersih dari haid (menstruasi) adalah 23 atau 24 hari.

Dalam hal ini, perempuan dibagi ke dalam tiga golongan, yakni Mubtada’ah (yang baru mulai haid), mu’tadah (yang sudah biasa(, dan mustahadhah, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.

1. Mubtada’ah
Mereka adalah perempuan yang baru pertama kali melihat darahnya keluar. Apabila dia melihat darahnya keluar, maka dia wajib meninggalkan shalat, puasa, hubungan intim/bersetubuh, dan menungu suci. Apabila dia melihat darah itu setelah satu hari satu malam atau lebih sampai lima belas hari, maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar) dan wajib mengerjakan shalat.

Jika darah haid (menstruasi) tersebut terus mengalir setelah lima belas hari, maka darah tersebut dianggap sebagai darah mustahadhah (wanita yang keluar darah istihadhah – bukan darah haid/menstruasi). Setelah itu, hukumnya menjadi Mustahadhah.

Jika darah haid/menstruasi berhenti, tidak mengalir selang lima belas hari dan dia melihatnya satu hari atau da hari dan berhenti selama itu juga, maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar) dan shalat setiap masa suci, dan berdiam setiap melihat darah.

2. Al-Mu’tadah
Kelompok ini adalah wanita yang telah terbiasa mengalami haid/menstruasi pada hari-hari tertentu pada satu bulan. Hukumnya, wanita haid kelompok Al-Mu’tadah wajib meninggalkan shalat, puasa, dan berhubungan intim pada hari ketika ia terbiasa haid.

Jika perempuan haid kategori A;-Mu’tadah melihat cairan kuning atau ketuh setelah biasanya, maka dia tidak usah mempedulikannya. Berdasarkan perkataan Ummu Athiyah, “Kami tidak menggolongkan cairan kuning atau keruh setelah suci itu sebagai darah haid/menstruasi,” (HR Abu Daud: 307, 308).

Adapun jika perempuan haid (menstruasi) kategori Al-Mu’tadah melihat cairan kuning atau keruh tersebut pada masa-masa haid (menstruasi), lalu cairan kuning atau keruh tersebut tidak keluar pada hari-hari biasanya (suci haid), maka itu termasuk haid (menstruasi), sehingga dia tidak wajib mandi, shalat atau puasa karenanya.

3. Mustahadhah
Mustahadhah adalah wanita haid yang darahnya terus mengalir tanpa henti setelah berakhirnya masa haid (masa menstruasi). Hukum perempuan menstruasi (haid) kategori Mustahadhah ada dua:

a. Apabila hari-hari sebelumnya ia yakini sebagai hari-hari yang biasanya ia mengalami haid (menstruasi), maka dia wajib meninggalkan shalat pada hari-hari tersebut. Dan setelah darah haid (menstruasi) tersebut berhenti mengalir, maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar), shalat, puasa, dan boleh melakukan hubungan intim.

b. Jika perempuan haid: (1) tdak mempunyai hari-hari biasa (masa haid tidak teratur dan dia ingat lama waktunya) atau (2) dia mempunyai hari-hari biasa tapi dia lupa masanya atau banyaknya, atau (3) darahnya itu bisa dibedakan dengan lainnya dan darahnya itu mengalir satu kali berwarna hitam dan satu kali berwarna merah, maka dia boleh berdiam pada hari-hari keluar darah hitam. Kemudian dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar) dan shalat setelah darah tersebut berhenti mengalir, selama darah yang keluar tidak lebih dari lima belas hari.

c. Apabila seorang wanita haid tidak bisa membedakan darah haid (hitam atau yang lainnya), maka dia seharusnya berdiam pada masa haidnya setiap bulannya, yang kira-kira selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah itu dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar).

d. Wanita haid (menstruasi) yang keluar darah istihadhahnya pada hari-hari keluar darah istihadahnya, dia wajib berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat, dan memakai pembalut dan tetap mengerjakan shalar meskipun darahnya mengalir deras, dan tidak boleh berhubungan intim kecuali karena terpaksa (darurat).

Adapun dalil-dalil tentang hukum-hukum mustahadhah di atas yaitu,

1. Hadist Ummu Salamah Radhiyallahuanha
Pada suatu hari, Ummu Salamah meminta fatwa kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam tentang seorang perempuan yang darahnya terus mengalir. Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menjawab,

Hendaknya dia memperhatikan jumlah malam-malam dan hari-hari haid yang dia alami setiap bulannya sebelum menimpa apa yang telah menimpanya, maka hendaklah dia meninggalkan shalat sebanyak hari itu dari satu bulan, apabila lebih dari itu, maka hendaklah dia mandi kemudian memakai kain pembalut kemudian shalat,” (HR Abu Daud: 274, dan An-Nasai: 33, Kitab Ath-Thaharah, dengan sanad yang hasan – baik).

Hadist di atas menjelaskan tentang wanita yang keluar darah istihadhah pada hari-hari tertentu.

2. Hadist Fatimah binti Abi Khubaisy
Bahwasanya ia pernah mengalami haid, lalu Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda kepadanya,

Apabila darah haid (menstruasi), maka itu warnanya hitam, bisa diketahui, maka apabila darahnya seperti itu tahanlah dari mengerjakan shalat, apabila darahnya itu berwarna lain, maka berwudhulah – setelah mandi wajib/ mandi junub/ mandi besar – dan shalatlah, karena itu hanya darah kotor,” (HR Abu Daud: 286, 304, dan An-Nasai: 1/123, 185).

Hadist di atas menjelaskan tentang wanita yang mengalami haid (menstruasi) tidak normal, juga tentang wanita haid yang lupa akan waktu haid atau siklus haidnya.

3. Hadist Hamnah binti Jahsyin, berkata, “Aku pernah mengeluarkan darah yang sangat banyak (haid/menstruasi), lalu aku mendatangi Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau bersabda,

Sesungguhnya itu hanyalah goncangan (dorongan) dari setan, kamu mengalami haid selama enam atau tujuh hari dalam ilmu Allah, kemudian mandilah jika kamu telah melihat bahwa kamu telah bersih dan kamu telah suci kemudian kerjakanlah shalat (di masa-masa suci haid) selama 24 atau 23 hari, dan berpuasalah (jika ada kewajiban puasa) dan shalatlah, karena itu boleh kamu kerjakan, demikianlah kamu lakukan setiap bulan sebagaimana perempuan lainnya mengalami haid (menstruasi),” (HR At-Tirmidzi: 128).

Hadist di atas menjadi petunjuk atau bukti tentang wanita yang tidak mempunyai hari-hari biasa dan tidak bisa membedakan darahnya yang keluar.

B. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan setelah melahirkan dan tidak ada batas minimalnya. Kapan saja wanita-wanita yang telah melahirkan itu melihat dirinya suci (darahnya tidak lagi mengalir), maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/ mandi besar) dan shalat, kecuali berhubungan intim.

Makruh baginya berhubungan intim sebelum 40 hari setelah melahirkan, karena dikhawatirkan akan merasa sakit ketika melakukannya. Adapun batas maksimalnya adalah empat puluh hari.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahuanha berkata, “wanita-wanita yang telah melahirkan itu berdiam selama 40 hari.” Dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam, “Berapa lama seorang peremuan berdiam apabila dia telah melahirkan?” Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam menjawab,

Empat puluh hari, kecuali jika dia melihat dirinya suci sebelum itu,” (HR At-Tirmidzi, dan beliau memberikan cacat pada hadist tersebut dengan gharib (asing) tetapi dishahihkan oleh Imam Al-Hakim).

Berdasarkan hadist tersebut, maka apabila wanita-wanita yang telah melahirkan itu telah mencapai 40 hari pasca melahirkan, dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/ mandi besar), shalat, dan berpuasa (jika ada kewajiban puasa) meskipun darahnya belum berhenti mengalir.

Hanya saja, apabila dia belum suci, dia hukumnya seperti mustahadhah (wanita yang keluar darah istihadhahnya), sama persis tidak ada bedanya.

Sebagian ulama menyebutkan, “Sesungguhnya para wanita yang telah melahirkan itu berdiam selama 50 atau 60 hari, dan berdiam selama 40 hari itu lebih hati-hati (bagus) bagi agamanya.

C. Cara Mengetahui Apakah Seseorang Suci Dari Haid
Suci dari haid (menstruasi) dapat diketahui dengan salah satu cara dari dua hal berikut:
1. Cairan putih yang keluar setelah suci

2. Kering, yaitu upaya wanita memasukkan kapas ke dalam kemaluannya, kemudian dia mengeluarkannya dan terbukti kapas tersebut dalam keadaan kering. Upaya tersebut dilakukan sebelum tidur dan sesudahnya, untuk mengetahui apakah telah suci atau belum. Wallahu’alam bish shawwab.

Kamis, 27 Desember 2012

Ibadah Dan Doa Wanita Ketika

Assalamu'alaikum  warohmatullohiwabrokatuh
 Mengsoal tentang Haid pada wanita ini ada seorang wanita yang bertanya pada seorang ustadz berikut petikannya :

Soalan; Ustadz, Saya ada kemusykilan tentang haid wanita. Apa yang saya tahu perempuan dalam haid dilarang melakukan puasa dan sembahyang, mengaji Alquran. tetapi tiada larangan untuk berzikir dan berdoa. Soalan saya, boleh tak ustadz tolong berikan hujah iaitu dalil al-Quran/Hadis tentang haid yang menjelaskan perkara diatas. Sekian terima kasih.
Jawapan;
1. Telah ijmak (sepakat) para ulamak bahawa wanita yang dalam haid dan nifas diharamkan mengerjakan solat dan juga puasa (termasuk puasa Ramadhan). Puasa Ramadhan wajib diqadha, adapun solat tidak perlu diqadha. Dalil larangan solat dan puasa tersebut ialah hadis Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. yang menceritakan; Nabi s.a.w. telah bertanya kaum wanita; “Bukankah kesaksian seorang wanita sama seperti separuh kesaksian seorang lelaki?”. Mereka menjawab; “Ya”. Baginda lalu berkata; “Itu tanda kurangnya akal wanita”. Baginda bertanya lagi; “Bukankah jika kamu kedatangan haid, kamu tidak boleh mengerjakan solat dan berpuasa?”. Mereka menjawab; “Ya”. Baginda lantas berkata; “Itu tanda kurangnya agama wanita” (HR Imam al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri r.a.).

2. Adapun hukum membaca al-Quran, terdapat khilaf di kalangan ulama seperti berikut;

A) Menurut Jumhur ulama (yakni pandangan teramai ulama termasuk Imam-Imam mazhab empat); Diharamkan ke atas orang yang berhadas besar membaca al-Quran dengan lidahnya sekalipun satu ayat. Mereka berdalilkan hadis dari Ibnu Umar yang menceritakan Rasulullah bersabda;”Janganlah wanita dalam haid dan orang yang berjunub membaca sesuatupun dari al-Quran” (HR Imam at-Tirmizi dan Ibnu Majah). Berdalilkan hadis ini, jumhur ulamak memutuskan; orang-orang yang berada dalam haid dan junub dilarang membaca al-Quran dengan lidah. Adapun membaca dengan hati (tanpa menggerakkan lidah), diharuskan.

B) Imam Malik berpandangan; Diharuskan wanita dalam haid dan nifas membaca al-Quran dari ayat-ayat yang dihafalnya jika dibimbangi takut hilang dari ingatannya jika tidak dibaca sepanjang tempoh haid atau nifasnya. Namun, orang berjunub dilarang sama sekali membaca al-Quran.

C) Terdapat ulama-ulama yang menganggahi pandangan jumhur ulamak di atas iaitulah Imam Daud az-Dzahiri, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnu Taimiyyah dan beberapa lagi. Menurut mereka; harus bagi orang berjunub dan begitu juga wanita yang kedatangan haid membaca al-Quran keseluruhannya. Di kalangan Salaf, pendapat ini ada diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan juga Ibnu al-Musayyab. Dalil mereka ialah hadis dari Saidatina ‘Aisyah r.a. yang menceritakan; “Sesungguhnya Nabi s.a.w. sentiasa berzikir kepada Allah pada setiap ketika/masanya” (HR Imam Muslim) dan membaca al-Quran termasuk di dalam pengertian zikir. Adapun hadis yang dijadikan dalil oleh jumhur tadi, hadis tersebut adalah dhaif mengikut penilaian ulama-ulama hadis.

3. Mengenai zikir dan doa, tidak ada nas (dalil dari al-Quran atau as-Sunah) yang melarang wanita yang kedatangan haid dan nifas dari melakukannya. Oleh itu, ia kekal sebagai harus (tidak dilarang). Dalam kaedah Fiqh ada dinyatakan “Sesuatu itu kekal dalam hukum asalnya selagi tidak ada dalil yang mengubahnya atau mengecualikannya dari hukum asal”.

Dari keterangan di atas, kita dapat melihat bahawa ruang untuk wanita dalam haid dan nifas beribadah adalah luas seluas ruang doa dan zikir itu sendiri walaupun mereka tidak dibolehkan solat, puasa dan membaca al-Quran (mengikut pandangan jumhur tadi). Berikut kita senaraikan dengan terperinci ibadah-ibadah yang boleh dilakukan oleh wanita-wanita yang berada dalam haid dan nifas;
1. Berdoa dengan apa sahaja doa termasuk dari al-Quran
2. Beristighfar; termasuk istighfar dari al-Quran
3. Berzikir; sama ada bertahlil, bertahmid, bertasbih dan sebagainya.
4. Berselawat kepada Nabi
5. Mendengar bacaan al-Quran
6. Menghadiri/mendengar majlis ilmu (yang diadakan di tempat lain selain masjid)
7. Mengulang hafalan al-Quran (mengikut pandangan Imam Malik tadi)
8. Membaca buku-buku agama termasuk kitab-kitab hadis
9. Bersedekah
10. Membuat kebajikan kepada orang lain
Bagi doa, istighfar dan zikir yang diambil dari al-Quran hendaklah dibaca dengan niat untuk berdoa, berzikir dan beristighfar, bukan dengan niat membaca al-Quran.
Wallahu a’lam.

Rujukan;
1. Tamam al-Minnah, Syeikh Adil bin Yusuf al-Azzazi, jil. 1. Hlm. 144-145.
2. Laman Fiqh Anda (http://fiqh-am.blogspot.com/).
3. Haid Membawa Berkah, Lissa Malike dan Asmawati, hlm. 74.

Posted by USTAZ AHMAD ADNAN FADZIL
di Poskan ulang Oleh Asep saefulloh 

Semoga ada manfaat dan kebaikan bagi Semuannya 
Terima kasih atas kunjungannya
Wassalamu'alaikum warohmatullohiwabrokatuh

Jumat, 21 Desember 2012

HUKUM MERAYAKAN HARI IBU






Oleh:Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Bismillah,
Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :
Kebiasaan kami, pada setiap tahun merayakan hari khusus yang disebut  dengan istilah hari ibu, yaitu pada tanggal 22 Desember. Pada hari itu banyak orang yang merayakannya. Apakah ini halal atau haram. Dan apakah kita harus pula merayakannya dan memberikan hadiah-hadiah?

Jawaban Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyari'atkan adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non muslim, jika demikian, maka di samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari raya-hariraya yang disyari'atkan telah diketahui oleh kaurn muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha serta hari raya mingguan (hari Jum'at). Selain yang tiga ini tidak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan bathil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam"
Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan)padanya, maka ia tertolak."

[1] Yakni ditolak dan tidak diterima disisi Allah. Dalam lafazh lainnya disebutkan,
"Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."

[2] Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari yang disebutkan oleh penanya, yaitu yang disebutkan
sebagai hari ibu, dan tidak boleh juga mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya,
seperti; menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah dan sebagainya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya serta merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dalam agama yang lurus ini dan telah diridhai Allah untuk para hambahNya. Maka hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi. Kemudian dari itu, hendaknya setiap muslim tidak menjadi pengekor yang menirukan setiap ajakan, bahkan seharusnya, dengan menjalankan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukanyang meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak,karena alhamdulillah, syari'at Allah itu sungguh sempurna dari segala sisinya, sebagaimana firmanNya,
"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. " [Al-Ma'idah: 3]

Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari itu
saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta dita'ati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, di setiap waktu dan tempat.
Nur 'ala Ad-Darb, Maktabah Adh-Dhiya', hal. 34-35, Syaikh Ibnu Utsaimin.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini
Lc Penerbit Darul Haq] 
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Imam Muslimmenyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
 
Semoga ada manfaatnya,...
bila ada keukrangan mohon kiranya di tambahin dengan meninggalkan koment
makasih atas kunjungannya semoga bisa menambah wawasan kita semua....