Jumat, 28 Desember 2012

Adab Meludah

Kita masih sering melihat air ludah berada di sembarang tempat. Ini menunjukkan bahwa masih banyak yang belum paham tentang adab dalam meludah. Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memberikan tuntunan tentang masalah ini dengan tujuan menjaga kebersihan dan kesehatan.
Di antara adab yang perlu diperhatikan dalam masalah ini antara lain:
Pertama, tidak meludah ke depan ketika shalat. Pasalnya, saat shalat seseorang sedang bercakap-cakap dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Allah berada di antara orang yang shalat dan kiblat. (Subulus Salam I/150)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu sedang shalat, maka janganlah meludah ke arah depan, karena Allah berada di hadapanmu ketika kamu sedang shalat.”(Riwayat Muslim).
Kedua, tidak meludah ke kanan ketika shalat. Seseorang dilarang meludah ke kanan saat shalat karena di situ ada malaikat. Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, maka janganlah meludah ke arah depannya sebab ia sedang berhadapan dengan Allah selagi ia berada di tempat shalatnya, dan jangan ke sebelah kanannya karena di sana ada malaikat. Tetapi hendaklah ia meludah ke arah kiri atau di bawah kakinya, kemudian dikuburnya.”
Ketiga, tidak meludah di masjid. Pengertian masjid di sini meliputi bangunan dan halamannya. Menurut Imam Qurtubi, yang dimaksud masjid adalah tanah yang diwakafkan sebagai masjid (Tafsir Qurtubi I/494).
Ibnu al-Haj, seorang ulama bermazhab Maliki dalam kitabnya Al-Madkhol Li Ibnu al-Haj menjelaskan bahwa meludah di masjid termasuk shu’ul adab (adab yang buruk) (Al-Madkhol I/264).
Dalam sebuah riwayat disebutkan, suatu ketika Rasulullah melihat ludah pada dinding masjid, maka beliau mengambil batu kerikil dan menggosoknya (Riwayat Bukhari).
Keempat, jika terpaksa meludah di masjid hendaklah menggunakan ujung pakaiannya.
Jika seseorang dalam keadaan terpaksa harus meludah di masjid, ia harus menggunakan ujung pakaiannya. Dari Anas bin Malik, Rasulullah melihat dahak di dinding kiblat lalu menggosoknya dengan tangannya. Dan nampak kebencian dari beliau, atau kebenciannya terlihat karena hal itu. Beliau pun bersabda, “Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, sesungguhnya ia sedang berhadapan dengan Rabbnya, atau sesungguhnya Rabbnya berada antara dia dan arah kiblatnya, maka janganlah ia meludah ke arah kiblat. Tetapi hendaklah ia lakukan ke arah kiri atau di bawah kaki (kirinya).” Kemudian Rasulullah memegang tepi kainnya dan meludah di dalamnya, setelah itu beliau membalik posisi kainnya lalu berkata, atau beliau melakukan seperti ini. (Riwayat Bukhari).
Kelima, jika berkendaraan sebaiknya berhenti saat meludah. Bisa jadi ludah yang dikeluarkannya tertiup angin dan mengenai orang yang di belakangnya. Perbuatan ini dilarang karena termasuk menyakiti orang lain. Rasulullah bersabda, “Janganlah saling menyakiti.” (Riwayat Malik). Namun jika memang harus meludah, hendaklah menghentikan kendaraan dan meludah di tepi jalan.
Demikianlah beberapa adab meludah yang diajarkan Islam. Semoga bermanfaat.

Haid (Menstruasi) dan Nifas (darah Pasca Melahirkan) Dalam Fiqih Islam



Oleh Sheikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy
A. Haid
Haid atau menstruasi adalah darah yang keluar dari rahim ketika seorang perempuan telah mencapai baligh, biasanya terjadi pada waktu-waktu tertentu. Hikmah keluarnya darah haid ini adalah untuk mengendalikan kelahiran anak secara alami.

Batas minimal keluarnya darah haid (menstruasi) adalah sehari semalam, dan batas maksimalnya adalah lima belas hari. Adapun umumnya masa haid (masa menstruasi) adalah enam atau tujuh hari.

Adapun batas minimal sucinya itu tiga belas atau lima belas hari, dan batas maksimal sucinya itu tidak terbatas, umumnya seseorang bersih dari haid (menstruasi) adalah 23 atau 24 hari.

Dalam hal ini, perempuan dibagi ke dalam tiga golongan, yakni Mubtada’ah (yang baru mulai haid), mu’tadah (yang sudah biasa(, dan mustahadhah, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.

1. Mubtada’ah
Mereka adalah perempuan yang baru pertama kali melihat darahnya keluar. Apabila dia melihat darahnya keluar, maka dia wajib meninggalkan shalat, puasa, hubungan intim/bersetubuh, dan menungu suci. Apabila dia melihat darah itu setelah satu hari satu malam atau lebih sampai lima belas hari, maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar) dan wajib mengerjakan shalat.

Jika darah haid (menstruasi) tersebut terus mengalir setelah lima belas hari, maka darah tersebut dianggap sebagai darah mustahadhah (wanita yang keluar darah istihadhah – bukan darah haid/menstruasi). Setelah itu, hukumnya menjadi Mustahadhah.

Jika darah haid/menstruasi berhenti, tidak mengalir selang lima belas hari dan dia melihatnya satu hari atau da hari dan berhenti selama itu juga, maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar) dan shalat setiap masa suci, dan berdiam setiap melihat darah.

2. Al-Mu’tadah
Kelompok ini adalah wanita yang telah terbiasa mengalami haid/menstruasi pada hari-hari tertentu pada satu bulan. Hukumnya, wanita haid kelompok Al-Mu’tadah wajib meninggalkan shalat, puasa, dan berhubungan intim pada hari ketika ia terbiasa haid.

Jika perempuan haid kategori A;-Mu’tadah melihat cairan kuning atau ketuh setelah biasanya, maka dia tidak usah mempedulikannya. Berdasarkan perkataan Ummu Athiyah, “Kami tidak menggolongkan cairan kuning atau keruh setelah suci itu sebagai darah haid/menstruasi,” (HR Abu Daud: 307, 308).

Adapun jika perempuan haid (menstruasi) kategori Al-Mu’tadah melihat cairan kuning atau keruh tersebut pada masa-masa haid (menstruasi), lalu cairan kuning atau keruh tersebut tidak keluar pada hari-hari biasanya (suci haid), maka itu termasuk haid (menstruasi), sehingga dia tidak wajib mandi, shalat atau puasa karenanya.

3. Mustahadhah
Mustahadhah adalah wanita haid yang darahnya terus mengalir tanpa henti setelah berakhirnya masa haid (masa menstruasi). Hukum perempuan menstruasi (haid) kategori Mustahadhah ada dua:

a. Apabila hari-hari sebelumnya ia yakini sebagai hari-hari yang biasanya ia mengalami haid (menstruasi), maka dia wajib meninggalkan shalat pada hari-hari tersebut. Dan setelah darah haid (menstruasi) tersebut berhenti mengalir, maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar), shalat, puasa, dan boleh melakukan hubungan intim.

b. Jika perempuan haid: (1) tdak mempunyai hari-hari biasa (masa haid tidak teratur dan dia ingat lama waktunya) atau (2) dia mempunyai hari-hari biasa tapi dia lupa masanya atau banyaknya, atau (3) darahnya itu bisa dibedakan dengan lainnya dan darahnya itu mengalir satu kali berwarna hitam dan satu kali berwarna merah, maka dia boleh berdiam pada hari-hari keluar darah hitam. Kemudian dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar) dan shalat setelah darah tersebut berhenti mengalir, selama darah yang keluar tidak lebih dari lima belas hari.

c. Apabila seorang wanita haid tidak bisa membedakan darah haid (hitam atau yang lainnya), maka dia seharusnya berdiam pada masa haidnya setiap bulannya, yang kira-kira selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah itu dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/mandi besar).

d. Wanita haid (menstruasi) yang keluar darah istihadhahnya pada hari-hari keluar darah istihadahnya, dia wajib berwudhu setiap kali akan mengerjakan shalat, dan memakai pembalut dan tetap mengerjakan shalar meskipun darahnya mengalir deras, dan tidak boleh berhubungan intim kecuali karena terpaksa (darurat).

Adapun dalil-dalil tentang hukum-hukum mustahadhah di atas yaitu,

1. Hadist Ummu Salamah Radhiyallahuanha
Pada suatu hari, Ummu Salamah meminta fatwa kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam tentang seorang perempuan yang darahnya terus mengalir. Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menjawab,

Hendaknya dia memperhatikan jumlah malam-malam dan hari-hari haid yang dia alami setiap bulannya sebelum menimpa apa yang telah menimpanya, maka hendaklah dia meninggalkan shalat sebanyak hari itu dari satu bulan, apabila lebih dari itu, maka hendaklah dia mandi kemudian memakai kain pembalut kemudian shalat,” (HR Abu Daud: 274, dan An-Nasai: 33, Kitab Ath-Thaharah, dengan sanad yang hasan – baik).

Hadist di atas menjelaskan tentang wanita yang keluar darah istihadhah pada hari-hari tertentu.

2. Hadist Fatimah binti Abi Khubaisy
Bahwasanya ia pernah mengalami haid, lalu Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda kepadanya,

Apabila darah haid (menstruasi), maka itu warnanya hitam, bisa diketahui, maka apabila darahnya seperti itu tahanlah dari mengerjakan shalat, apabila darahnya itu berwarna lain, maka berwudhulah – setelah mandi wajib/ mandi junub/ mandi besar – dan shalatlah, karena itu hanya darah kotor,” (HR Abu Daud: 286, 304, dan An-Nasai: 1/123, 185).

Hadist di atas menjelaskan tentang wanita yang mengalami haid (menstruasi) tidak normal, juga tentang wanita haid yang lupa akan waktu haid atau siklus haidnya.

3. Hadist Hamnah binti Jahsyin, berkata, “Aku pernah mengeluarkan darah yang sangat banyak (haid/menstruasi), lalu aku mendatangi Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau bersabda,

Sesungguhnya itu hanyalah goncangan (dorongan) dari setan, kamu mengalami haid selama enam atau tujuh hari dalam ilmu Allah, kemudian mandilah jika kamu telah melihat bahwa kamu telah bersih dan kamu telah suci kemudian kerjakanlah shalat (di masa-masa suci haid) selama 24 atau 23 hari, dan berpuasalah (jika ada kewajiban puasa) dan shalatlah, karena itu boleh kamu kerjakan, demikianlah kamu lakukan setiap bulan sebagaimana perempuan lainnya mengalami haid (menstruasi),” (HR At-Tirmidzi: 128).

Hadist di atas menjadi petunjuk atau bukti tentang wanita yang tidak mempunyai hari-hari biasa dan tidak bisa membedakan darahnya yang keluar.

B. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan setelah melahirkan dan tidak ada batas minimalnya. Kapan saja wanita-wanita yang telah melahirkan itu melihat dirinya suci (darahnya tidak lagi mengalir), maka dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/ mandi besar) dan shalat, kecuali berhubungan intim.

Makruh baginya berhubungan intim sebelum 40 hari setelah melahirkan, karena dikhawatirkan akan merasa sakit ketika melakukannya. Adapun batas maksimalnya adalah empat puluh hari.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahuanha berkata, “wanita-wanita yang telah melahirkan itu berdiam selama 40 hari.” Dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam, “Berapa lama seorang peremuan berdiam apabila dia telah melahirkan?” Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam menjawab,

Empat puluh hari, kecuali jika dia melihat dirinya suci sebelum itu,” (HR At-Tirmidzi, dan beliau memberikan cacat pada hadist tersebut dengan gharib (asing) tetapi dishahihkan oleh Imam Al-Hakim).

Berdasarkan hadist tersebut, maka apabila wanita-wanita yang telah melahirkan itu telah mencapai 40 hari pasca melahirkan, dia wajib melakukan mandi wajib (mandi junub/ mandi besar), shalat, dan berpuasa (jika ada kewajiban puasa) meskipun darahnya belum berhenti mengalir.

Hanya saja, apabila dia belum suci, dia hukumnya seperti mustahadhah (wanita yang keluar darah istihadhahnya), sama persis tidak ada bedanya.

Sebagian ulama menyebutkan, “Sesungguhnya para wanita yang telah melahirkan itu berdiam selama 50 atau 60 hari, dan berdiam selama 40 hari itu lebih hati-hati (bagus) bagi agamanya.

C. Cara Mengetahui Apakah Seseorang Suci Dari Haid
Suci dari haid (menstruasi) dapat diketahui dengan salah satu cara dari dua hal berikut:
1. Cairan putih yang keluar setelah suci

2. Kering, yaitu upaya wanita memasukkan kapas ke dalam kemaluannya, kemudian dia mengeluarkannya dan terbukti kapas tersebut dalam keadaan kering. Upaya tersebut dilakukan sebelum tidur dan sesudahnya, untuk mengetahui apakah telah suci atau belum. Wallahu’alam bish shawwab.

Kamis, 27 Desember 2012

Ibadah Dan Doa Wanita Ketika

Assalamu'alaikum  warohmatullohiwabrokatuh
 Mengsoal tentang Haid pada wanita ini ada seorang wanita yang bertanya pada seorang ustadz berikut petikannya :

Soalan; Ustadz, Saya ada kemusykilan tentang haid wanita. Apa yang saya tahu perempuan dalam haid dilarang melakukan puasa dan sembahyang, mengaji Alquran. tetapi tiada larangan untuk berzikir dan berdoa. Soalan saya, boleh tak ustadz tolong berikan hujah iaitu dalil al-Quran/Hadis tentang haid yang menjelaskan perkara diatas. Sekian terima kasih.
Jawapan;
1. Telah ijmak (sepakat) para ulamak bahawa wanita yang dalam haid dan nifas diharamkan mengerjakan solat dan juga puasa (termasuk puasa Ramadhan). Puasa Ramadhan wajib diqadha, adapun solat tidak perlu diqadha. Dalil larangan solat dan puasa tersebut ialah hadis Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. yang menceritakan; Nabi s.a.w. telah bertanya kaum wanita; “Bukankah kesaksian seorang wanita sama seperti separuh kesaksian seorang lelaki?”. Mereka menjawab; “Ya”. Baginda lalu berkata; “Itu tanda kurangnya akal wanita”. Baginda bertanya lagi; “Bukankah jika kamu kedatangan haid, kamu tidak boleh mengerjakan solat dan berpuasa?”. Mereka menjawab; “Ya”. Baginda lantas berkata; “Itu tanda kurangnya agama wanita” (HR Imam al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri r.a.).

2. Adapun hukum membaca al-Quran, terdapat khilaf di kalangan ulama seperti berikut;

A) Menurut Jumhur ulama (yakni pandangan teramai ulama termasuk Imam-Imam mazhab empat); Diharamkan ke atas orang yang berhadas besar membaca al-Quran dengan lidahnya sekalipun satu ayat. Mereka berdalilkan hadis dari Ibnu Umar yang menceritakan Rasulullah bersabda;”Janganlah wanita dalam haid dan orang yang berjunub membaca sesuatupun dari al-Quran” (HR Imam at-Tirmizi dan Ibnu Majah). Berdalilkan hadis ini, jumhur ulamak memutuskan; orang-orang yang berada dalam haid dan junub dilarang membaca al-Quran dengan lidah. Adapun membaca dengan hati (tanpa menggerakkan lidah), diharuskan.

B) Imam Malik berpandangan; Diharuskan wanita dalam haid dan nifas membaca al-Quran dari ayat-ayat yang dihafalnya jika dibimbangi takut hilang dari ingatannya jika tidak dibaca sepanjang tempoh haid atau nifasnya. Namun, orang berjunub dilarang sama sekali membaca al-Quran.

C) Terdapat ulama-ulama yang menganggahi pandangan jumhur ulamak di atas iaitulah Imam Daud az-Dzahiri, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnu Taimiyyah dan beberapa lagi. Menurut mereka; harus bagi orang berjunub dan begitu juga wanita yang kedatangan haid membaca al-Quran keseluruhannya. Di kalangan Salaf, pendapat ini ada diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan juga Ibnu al-Musayyab. Dalil mereka ialah hadis dari Saidatina ‘Aisyah r.a. yang menceritakan; “Sesungguhnya Nabi s.a.w. sentiasa berzikir kepada Allah pada setiap ketika/masanya” (HR Imam Muslim) dan membaca al-Quran termasuk di dalam pengertian zikir. Adapun hadis yang dijadikan dalil oleh jumhur tadi, hadis tersebut adalah dhaif mengikut penilaian ulama-ulama hadis.

3. Mengenai zikir dan doa, tidak ada nas (dalil dari al-Quran atau as-Sunah) yang melarang wanita yang kedatangan haid dan nifas dari melakukannya. Oleh itu, ia kekal sebagai harus (tidak dilarang). Dalam kaedah Fiqh ada dinyatakan “Sesuatu itu kekal dalam hukum asalnya selagi tidak ada dalil yang mengubahnya atau mengecualikannya dari hukum asal”.

Dari keterangan di atas, kita dapat melihat bahawa ruang untuk wanita dalam haid dan nifas beribadah adalah luas seluas ruang doa dan zikir itu sendiri walaupun mereka tidak dibolehkan solat, puasa dan membaca al-Quran (mengikut pandangan jumhur tadi). Berikut kita senaraikan dengan terperinci ibadah-ibadah yang boleh dilakukan oleh wanita-wanita yang berada dalam haid dan nifas;
1. Berdoa dengan apa sahaja doa termasuk dari al-Quran
2. Beristighfar; termasuk istighfar dari al-Quran
3. Berzikir; sama ada bertahlil, bertahmid, bertasbih dan sebagainya.
4. Berselawat kepada Nabi
5. Mendengar bacaan al-Quran
6. Menghadiri/mendengar majlis ilmu (yang diadakan di tempat lain selain masjid)
7. Mengulang hafalan al-Quran (mengikut pandangan Imam Malik tadi)
8. Membaca buku-buku agama termasuk kitab-kitab hadis
9. Bersedekah
10. Membuat kebajikan kepada orang lain
Bagi doa, istighfar dan zikir yang diambil dari al-Quran hendaklah dibaca dengan niat untuk berdoa, berzikir dan beristighfar, bukan dengan niat membaca al-Quran.
Wallahu a’lam.

Rujukan;
1. Tamam al-Minnah, Syeikh Adil bin Yusuf al-Azzazi, jil. 1. Hlm. 144-145.
2. Laman Fiqh Anda (http://fiqh-am.blogspot.com/).
3. Haid Membawa Berkah, Lissa Malike dan Asmawati, hlm. 74.

Posted by USTAZ AHMAD ADNAN FADZIL
di Poskan ulang Oleh Asep saefulloh 

Semoga ada manfaat dan kebaikan bagi Semuannya 
Terima kasih atas kunjungannya
Wassalamu'alaikum warohmatullohiwabrokatuh

Jumat, 21 Desember 2012

HUKUM MERAYAKAN HARI IBU






Oleh:Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Bismillah,
Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :
Kebiasaan kami, pada setiap tahun merayakan hari khusus yang disebut  dengan istilah hari ibu, yaitu pada tanggal 22 Desember. Pada hari itu banyak orang yang merayakannya. Apakah ini halal atau haram. Dan apakah kita harus pula merayakannya dan memberikan hadiah-hadiah?

Jawaban Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyari'atkan adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non muslim, jika demikian, maka di samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari raya-hariraya yang disyari'atkan telah diketahui oleh kaurn muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha serta hari raya mingguan (hari Jum'at). Selain yang tiga ini tidak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan bathil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala berdasarkan sabda Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam"
Artinya : Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan)padanya, maka ia tertolak."

[1] Yakni ditolak dan tidak diterima disisi Allah. Dalam lafazh lainnya disebutkan,
"Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."

[2] Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari yang disebutkan oleh penanya, yaitu yang disebutkan
sebagai hari ibu, dan tidak boleh juga mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya,
seperti; menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah dan sebagainya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya serta merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dalam agama yang lurus ini dan telah diridhai Allah untuk para hambahNya. Maka hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi. Kemudian dari itu, hendaknya setiap muslim tidak menjadi pengekor yang menirukan setiap ajakan, bahkan seharusnya, dengan menjalankan syari'at Allah Subhanahu wa Ta’ala, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukanyang meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak,karena alhamdulillah, syari'at Allah itu sungguh sempurna dari segala sisinya, sebagaimana firmanNya,
"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. " [Al-Ma'idah: 3]

Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari itu
saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta dita'ati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, di setiap waktu dan tempat.
Nur 'ala Ad-Darb, Maktabah Adh-Dhiya', hal. 34-35, Syaikh Ibnu Utsaimin.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini
Lc Penerbit Darul Haq] 
Foote Note
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Imam Muslimmenyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
 
Semoga ada manfaatnya,...
bila ada keukrangan mohon kiranya di tambahin dengan meninggalkan koment
makasih atas kunjungannya semoga bisa menambah wawasan kita semua....

Selasa, 20 November 2012

TAHUN BARU HIJRIYAH 1 MUHARAM 1434 Perbanyak SEDEKAH



Benarkah kita sudah menunaikan sholat wajib lima waktu dalam sehari? Belum tentu. Kalau
Anda sholat Isya’ lewat tengah malam, berarti hari itu hanya sholat empat waktu. Karena yang
Isya’ menurut Kalender Masehi (syamsiyah) sudah masuk hari berikutnya. Itulah salah satu
pentingnya umat Islam menggunakan Kalender Hijriyah (qomariyah).     
 
Pergantian hari menurut Almanak Hijriyah adalah waktu maghrib, sehingga tidak menimbulkan
kemusykilan seperti waktu sholat Isya’ tadi. Bertepatan 15 November 2012 ini, adalah 1
Muharam 1434 Hijriyah yang biasa disebut Tahun Baru Islam. Khalifah Umar bin Khattab ra
menetapkan 1 Muharam Tahun I Hijriyah merujuk pada waktu hijrah Rasulullah SAW yakni
tanggal 16 Juli 622 M.
 
Almanak Hijriyah disusun untuk selalu mengingat peristiwa bersejarah nan penting itu dan
memudahkan urusan kenegaraan dan kemasyarakatan.  Pesan pokok peringatan Muharam
adalah mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain.
 
Kata ‘‘Muharam’’ bermakna mulia, membela, menahan, yang diharamkan atau yang menjadi
pantangan. Salah satu amalan khusus di Bulan Muharam adalah puasa. Sebagaimana
diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah telah berwasiat, "Seutama-utama puasa sesudah
puasa Ramadhan ialah puasa Muharam dan seutama-utama solat sesudah solat fardhu adalah
sholat malam" (HR Muslim).
 
Selain pada Hari Asyura (10 Muharam), umat Islam juga dianjurkan berpuasa pada tanggal 9
dan 11 Muharam. Ini untuk membedakan dari puasanya orang Yahudi (HR Ahmad, Al Bazzar).
Bersamaan dengan puasa, pada Muharam umat Islam juga dianjurkan banyak bersedekah.
Abu Musa Al Madani meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, yang mengutip pesan Nabi SAW: "Siapa
yang  berpuasa pada hari Asyura seperti berpuasa setahun, dan siapa yang bersedekah  pada
hari Asyura seperti bersedekah setahun." (HR Al Bazzar).
Di sebagian masyarakat, sedekah tersebut diuatamakan untuk anak yatim. Karena itu, mereka
menyebut 1 Muharam sebagai ‘’Hari Raya Yatim’’. Namun, kebiasaan itu lebih baik daripada
adat ‘’sedekah ke laut’’. Selain membahayakan aqidah, sedekah laut juga sebuah bentuk
kemubaziran yang nyata.  Terlepas bahwa ‘’Hari Raya Yatim’’ hanya anggapan orang, yang
jelas menyantuni anak yatim memang bernilai luar biasa. Baik dilakukan pada Muharam
maupun bulan-bulan lainnya terutama Ramadhan. Allah SWT mewanti-wanti betul soal anak
yatim.
 
Tak kurang 22 kali Allah menyebut anak yatim dalam Al Qur’an di berbagai ayat. Sedangkan
dari 42 Kitab Hadits, terdapat sedikitnya 142 hadits yang membahas tentang anak yatim. Di
berbagai surat, Allah mewajibkan kepedulian pada anak yatim dan memberi petunjuk
bagaimana caranya. Dan di surat Al Maa’uun, Allah SWT mengecam keras mereka yang
mengabaikan anak yatim sebagai ‘’pendusta agama’’.
 
Tapi sebaliknya, bagi yang peduli terhadap nasib anak yatim, tersedia ganjaran luar biasa
besar. Rasulullah mengingatkan, “Siapa yang tak berlaku lembut kepada anak yatim, dia tidak
akan mendapatkan kebaikan.” (HR Muslim). ‘’Aku bersama pemelihara anak yatim seperti ini
kelak di surga,’’ kata Nabi Muhammad SAW sambil merapatkan jari tengah dan telunjuk beliau.
Jadi, mari kita ber-haflah Tahun Baru 1434 Hijriyah dengan sedekah!

Kamis, 04 Oktober 2012

KEUTAMAAN SHOLAT SUNAH RAWATIB

Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat lima waktu. Shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib disebut shalat sunnah qobliyah. Sedangkan sesudah shalat wajib disebut shalat sunnah ba’diyah.  
 
Di antara tujuan disyari’atkannya shalat sunnah qobliyah adalah agar jiwa memiliki persiapan sebelum melaksanakan shalat wajib. Perlu dipersiapkan seperti ini karena sebelumnya jiwa telah disibukkan dengan berbagai urusan dunia. Agar jiwa tidak lalai dan siap, maka ada shalat sunnah qobliyah lebih dulu. 
 
Sedangkan shalat sunnah ba’diyah dilaksanakan untuk menutup beberapa kekurangan dalam shalat wajib yang baru dilakukan. Karena pasti ada kekurangan di sana-sini ketika melakukannya. 
 
Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib 
 
Pertama: Shalat adalah sebaik-baik amalan 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
 
وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ  
“Ketahuilah, sebaik-baik amalan bagi kalian adalah shalat
 
Kedua: Akan meninggikan derajat di surga karena banyaknya shalat tathowwu’ (shalat sunnah) yang dilakukan 
Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanyakan mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai oleh Allah. Kemudian Tsauban mengatakan bahwa beliau pernah menanyakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau menjawab,
 
 عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً   
“Hendaklah engkau memperbanyak sujud kepada Allah karena tidaklah engkau bersujud pada Allah dengan sekali sujud melainkan Allah akan meninggikan satu derajatmu dan menghapuskan satu kesalahanmu. Ini baru sekali sujud. Lantas bagaimanakah dengan banyak sujud atau banyak shalat yang dilakukan?! 
 
Ketiga: Menutup kekurangan dalam shalat wajib
Seseorang dalam shalat lima waktunya seringkali mendapatkan kekurangan di sana-sini sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشْرُ صَلاَتِهِ تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا                    
“Sesungguhnya seseorang ketika selesai dari shalatnya hanya tercatat baginya sepersepuluh, sepersembilan,seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, separuh dari shalatnya.
 
Untuk menutup kekurangan ini, disyari’atkanlah shalat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
 
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْتَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ  
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali akan diperhitungkan dari manusia pada hari kiamat dari amalan-amalan mereka adalah shalat. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan pada malaikatnya dan Dia lebih Mengetahui segala sesuatu, “Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan. Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.
 
Keempat: Rutin mengerjakan shalat rawatib 12 raka’at dalam sehari akan dibangunkan rumah di surga. 
Dari Ummu Habibah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ  
“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.” 
 
Coba kita lihat, bagaimana keadaan para periwayat hadits ini ketika mendengar hadits tersebut. Di antara periwayat hadits di atas adalah An Nu’man bin Salim, ‘Amr bin Aws, ‘Ambasah bin Abi Sufyan dan Ummu Habibah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. 
 
Ummu Habibah mengatakan, Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ” 
 
‘Ambasah mengatakan,“Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah.” 
 
‘Amr bin Aws mengatakan,“Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Ambasah.” 
 
An Nu’man bin Salim mengatakan,“Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Amr bin Aws.
 
Yang dimaksudkan dengan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari dijelaskan dalam riwayat At Tirmidzi, dari ‘Aisyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ 
“Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.
 
Hadits di atas menunjukkan dianjurkannya merutinkan shalat sunnah rawatib sebanyak 12 raka’at setiap harinya.
 
Dua belas raka’at rawatib yang dianjurkan untuk dijaga adalah: [1] empat raka’at sebelum Zhuhur, [2] dua raka’at sesudah Zhuhur, [3] dua raka’at sesudah Maghrib, [4] dua raka’at sesudah ‘Isya’, [5] dua raka’at sebelum Shubuh. 
 
Shalat Qobliyah Shubuh Jangan Sampai Ditinggalkan 
 
Shalat sunnah qobliyah shubuh atau shalat sunnah fajr memiliki keutamaan sangat luar biasa. Di antaranya disebutkan dalam hadits ‘Aisyah,
 
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا 
“Dua raka’at sunnah fajar (qobliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.
 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat melakukan shalat ini, sampai-sampai ketika safar pun beliau terus merutinkannya. 
 
‘Aisyah mengatakan,
 
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memiliki perhatian yang luar biasa untuk shalat sunnah selain shalat sunnah fajar. 
Ibnul Qayyim mengatakan,“Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.
 
Niat Sholat Rawatib
Shalat Rawatib. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu. Niatnya : 
a.   Qabliyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib. Waktunya : 2 rakaat sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat Dzuhur, 2 atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar, dan 2 rakaat sebelum shalat Isya. Niatnya:
 
‘Ushalli sunnatadh Dzuhri*  rakataini Qibliyyatan lillahi Taaalaa Artinya: aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua rakaat karena Allah
 
       * bisa diganti dengan shalat wajib yang akan dikerjakan.
 
    b.   Badiyyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu. Waktunya : 2    
         atau 4 rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Magrib dan 2 rakaat sesudah    
         shalat  Isya